Gunung pun menjadi tempat perenungan pribadi bagi Soe Hok Gie. Tak jarang perenungan-perenungan itu diejawantahkannya dalam berbait-bait puisi. Salah satu puisi hasil perenungannya yang begitu romantik berjudul Mandalawangi-Pangrango yang dia tulis pada 19 Juli 1966, ketika demonstrasi-demonstrasi mahasiswa menentang Presiden Sukarno sedang
Cita - cita Soe Hok Gie untuk mati di tengah alam betul - betul kesampaian. Cocok dengan ungkapan dari puisi Yunani yang suka dikutipnya; "Nasib terbaik adalah tak dilahirkan. Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda."
Soe Hok Gie dalam puisi terakhirnya sebelum meninggal diatas puncak semeru menuliskan sebuah puisi yang berjudul Cinta, didalam puisi itu ada sebuah kalimat yang diambilnya dari seorang filsuf Yunani, yaitu sebagai berikut: Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan Kedua dilahirkan namun mati muda Dan yang tersial adalah berumur tua Dan dari buku ini akhirnya saya paham kenapa Gie dianggap sebagai tokoh pejuang. Ternyata ia bukan sekedar mahasiswa tukang demo yang hobby nulis puisi dan terkenal karena mati muda. Gie lebih dari itu. Dan buku ini menggambarkan secara gamblang siapa Soe Hok Gie dan seperti apa pemikirannya yang patut kita kagumi. Soe Hok Gie (17 Desember 1942-16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962-1969. Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin.